JATIMTIMES - Tepat hari ini, Rabu (1/10/2025), genap tiga tahun peristiwa memilukan Tragedi Kanjuruhan terjadi. Insiden yang berlangsung usai laga Arema FC vs Persebaya Surabaya di Stadion Kanjuruhan, Malang, pada 1 Oktober 2022 itu menjadi salah satu catatan paling kelam dalam sejarah sepak bola Indonesia dan dunia.
Dalam peristiwa tersebut, 135 orang meninggal dunia. Sementara ratusan lainnya mengalami luka berat maupun ringan. Tragedi ini bahkan masuk dalam daftar peristiwa paling mematikan kedua di dunia sepak bola setelah Tragedi Estadio Nacional, Peru.
Baca Juga : Warga Srengat Blitar Resah, ODGJ Bacok Anak 11 Tahun lalu Kabur
Pertandingan Liga 1 2022/2023 itu berakhir dengan skor 3-2 untuk kemenangan tim tamu, Persebaya Surabaya. Seusai laga, situasi tak terkendali setelah sejumlah suporter masuk ke lapangan. Kondisi berubah ricuh hingga aparat menembakkan gas air mata ke arah tribun dan lapangan.
Bukannya meredam, tembakan gas air mata justru membuat penonton panik dan berdesakan menuju pintu keluar. Ribuan orang terjebak di pintu 10, 11, 12, dan 13 Tribun Selatan. Banyak korban meninggal karena asfiksia, patah tulang, hingga cedera parah di kepala.
Catatan resmi menyebutkan, 135 orang tewas, 96 luka berat, dan 484 lainnya mengalami luka ringan. Mayoritas korban merupakan anak muda, termasuk perempuan dan anak-anak.
Tragedi ini bahkan mendapat sorotan dunia. Mulanya panitia pelaksana pertandingan Arema FC mengajukan izin laga pada 12 September 2022. Saat itu, Polres Malang merekomendasikan pertandingan digelar sore hari, namun PT Liga Indonesia Baru (LIB) menolak dengan alasan siaran langsung dan potensi kerugian.
Akhirnya laga tetap dilaksanakan malam hari pukul 20.00 WIB dengan penonton hanya dari pihak Arema FC. Polres Malang menyiapkan lebih dari 2.000 personel, termasuk larangan kehadiran suporter tamu.
Namun, usai laga, suporter turun ke lapangan. Empat unit barakuda dikerahkan untuk mengamankan pemain Persebaya. Tindakan represif pun diambil: 11 personel menembakkan gas air mata ke arah tribun selatan, tribun utara, dan lapangan.
Tujuh tembakan diarahkan ke tribun selatan, satu ke tribun utara, dan tiga ke lapangan. Aksi ini memicu kepanikan masal yang berujung pada tragedi kemanusiaan.
Enam hari pasca-kejadian, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menyampaikan kronologi resmi dalam konferensi pers. Proses hukum berlanjut dan pada 16 Januari 2023 sidang perdana digelar di PN Surabaya.
Baca Juga : Puluhan Jeep Wisata Bromo Jalani Ramp Check, 75 Unit Dinyatakan Laik Jalan
Sebanyak lima orang dijadikan terdakwa. Dari pihak panpel, Ketua Panitia Pelaksana Arema FC Abdul Haris dan security officer Suko Sutrisno divonis masing-masing 1 tahun 6 bulan dan 1 tahun penjara.
Sementara tiga perwira kepolisian yang turut jadi terdakwa adalah Kompol Wahyu Setyo Pranoto, AKP Bambang Sidik Achmadi, dan AKP Hasdarman. Dari ketiganya, hanya Hasdarman yang divonis 1 tahun 6 bulan penjara. Sementara dua lainnya diputus bebas.
Vonis ringan ini menuai kritik publik. Banyak pihak menilai keadilan bagi korban dan keluarga mereka belum sepenuhnya ditegakkan.
Tragedi Kanjuruhan menjadi momentum besar yang memaksa pemerintah, federasi, dan pemangku kepentingan sepak bola nasional untuk berbenah. Sorotan juga tertuju pada PT LIB, sistem pengamanan, serta manajemen pertandingan yang dianggap lalai.
Sejak saat itu, muncul desakan untuk mereformasi sistem sepak bola Indonesia, termasuk evaluasi menyeluruh terhadap standar keamanan stadion.
Kini, nama Kanjuruhan menjadi simbol duka dan luka abadi dalam sepak bola tanah air. Setiap 1 Oktober, masyarakat kembali mengingat nyawa-nyawa yang hilang dalam tragedi ini.